Review Film Blindness (2008)

Semenjak ditayangkan perdana di Cannes tahun ini, film Fernando Meirelles sudah diterima dengan dingin oleh banyak kritikus, dengan alasan dia mengayuh pedal atau membikin bahan-bahan sumbernya terbuang: novel 1995 oleh juara Nobel Portugis José Saramago seputar wabah kebutaan yang menular. di sebuah kota modern yang tak diceritakan namanya, yang otoritasnya meninggalkan orang buta untuk menjaga diri mereka sendiri di sebuah kamp karantina yang turun ke dalam kekacauan dan neraka.

Aku tak sependapat dengan para pencela. Bagi aku, Meirelles, bersama dengan penulis skenario Don McKellar dan sinematografer Cesar Charlone, sudah mewujudkan film yang elegan, mencekam, dan luar lazim secara visual. Ini merespons catatan novel seputar akhir zaman dan distopia, dan pengungkapannya seputar gurun spiritual di dalam kota modern, tapi juga dengan kualitas yang tak sebagus situs judi slot online bertahan dari dongeng, paradoks dan malah khayalan. Aku bertanya-tanya apakah penyesuaian diri ini tak juga mengimpor rasa sekuel coda-aneh Saramago, Seeing, yang didirikan di kota yang sama cuma empat tahun kemudian, selama pemilihan nasional di mana mayoritas pemilih kota secara spontan memberikan bunyi kosong, wabah virus seputar kebutaan konstitusional yang mau yang memungkinkan pemerintahnya yang membatu untuk memperhatikan kerapuhan otoritas demokratis, dan yang mereka tanggapi, sekali lagi, dengan karantina – menutup kota. (Eksistensi sekuel ini dapat dibilang merusak dinginnya ujung terbuka dari yang autentik, sedangkan akhir dari Mengamati barangkali menerangkan ketika-ketika akhir yang bermakna ganda dari Blindness sebagai semacam ramalan.)

Musibah itu diawali dengan seorang pengusaha Jepang yang ketakutan (Yusuke Iseya) yang menjadi buta pada kemudi kendaraan beroda empat mewahnya, cuma memperhatikan warna putih susu, dan menyerahkan kondisinya terhadap pencuri oportunis (Don McKellar) yang berpura-pura membantunya; pengusaha itu dibawa oleh istrinya ke seorang dokter mata (Mark Ruffalo) yang juga merawat seorang pelacur kelas tinggi (Alice Braga) yang tanpa sadar menyerahkan wabah menyeramkan itu terhadap bartender (Gael García Bernal) di hotel daerah dia memperdagangkan barang dagangannya. – dan begitulah seterusnya.

Seluruh orang ini, dalam rantai kasual non-kontak manusia ini, diberi arahan seperti hewan yang ketakutan ke dalam kamp kebutaan yang kumal dan jahat: mereka tak tahu atau tak peduli dengan siapa mereka berhadapan di kota yang penuh kegaduhan, tapi kini urutan ketidakpedulian ini yakni berubah menjadi koreografi siksa yang sungguh-sungguh penting. Fakta kuncinya yakni bahwa seorang narapidana, istri dokter, yang diperankan oleh Julianne Moore, bisa secara membisu-membisu memperhatikan; ia sendiri yang semestinya menanggung bobot melihat alangkah mengerikannya dunia ini dapat menjadi.

Dunia kamp kebutaan yakni mimpi buruk yang tidak terpikirkan, tapi untuk seluruh kengerian dan keputusasaannya, itu tak dialamatkan pada kita dengan tusukan realis yang persis sama seperti, katakanlah, Children of Men Alfonso Cuarón. Seperti dalam buku ini, tak ada karakter yang diceritakan dan sekali-sekali sulih bunyi sulih bunyi dan komik menampakkan bahwa cara kerjanya semestinya direspons dengan serius, tapi entah bagaimana tak sepenuhnya secara harfiah. Dikala aku pertama kali memperhatikan ini, itu mengingatkan aku pada film zombie George Romero dan drama komedi Peter Shaffer Black; pada pandangan kedua, yang terakhir ini, kwalitas abstrak mendominasi, sedangkan dengan rona yang lebih gelap: kebutaan putih sebagai tragedi hitam. Bioskop yakni media visual, sehingga tak ada versi film Kebutaan yang bisa sepenuhnya mereproduksi kepongahan sastra yang terkubur dari pembaca “buta” yang semestinya membayangkan apa yang dijelaskan oleh narator, tapi film ini yakni penyesuaian diri yang cerdas, dibangun dengan kuat, dan sungguh-sungguh percaya diri.